Watugunung merupakan nama tokoh sekaligus nama wuku terakhir dalam sistem penanggalan Bali. Sepanjang wuku Watugunung terbentang sejumlah rerahinan (hari-hari raya) penting. Diawali
dengan hari Watugunung Runtuh dan diakhiri dengan hari Saraswati. Watugunung
Runtuh dianggap sebagai hari keramat karena diyakini sebagai peringatan jatuhnya
Watugunung.
Keramatnya hari Watugunung Runtuh
tidak hanya berkaitan dengan mitologi Watugunung, tetapi pada hari itu memang
bersamaan dengan hari Kajeng Kliwon Pemelastali jatuh pada hari pertama yakni
Redite (Minggu) Kliwon wuku
Watugunung, Minggu (4/8) hari ini.
Pada Anggara (Selasa) Pahing dikenal
sebagai hari raya Paid-paidan. Konon, ini berkaitan erat dengan saat
diseret-seretnya (bahasa Bali : paid-paid)
mayat Watugunung. Tetua Bali biasanya mengeramatkan hari ini. Mereka berpantang
untuk memanjat pepohonan atau bangunan tinggi. Kata orang-orang tua, ila-ila dahat, berbahaya. Hari itu dianggap
buruk. Kalau ada yang memanjat pohon dan bangunan saat itu konon bisa kena
musibah seperti terjatuh.
Keesokan harinya, Buda (Rabu) Pon
diperingati sebagai hari Urip. Saat itu diyakini sebagai saat Watugunung
dihidupkan kembali. Pada Whraspati (Kamis) Wage diperingati sebagai hari
Pategtegan yakni hari ketika Watugunung kembali bisa dihidupkan untuk
selama-lamanya.
Sementara pada Sukra (Jumat)
Kliwon diperingati sebagai hari Pengeredanan. Hari raya ini disebut-sebut
sebagai peringatan saat Watugunung teguh menjalankan tapa-bratanya. Karena
keteguhan menjalankan tapa brata itulah kemudian Watugunung mendapat anugerah
ilmu pengetahuan dari Dewi Saraswati. Hari inilah yang diperingati sebagai hari
suci Saraswati.
Rentetan rerahinan selama wuku Watugunung sejatinya lebih sebagai
proses untuk berkonsentrasi pada perayaan hari Saraswati. Semua pikiran
ditujukan kepada Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan. Soal adanya
pantangan dalam hari-hari sepanjang wuku
Watugunung itu juga dimaksudkan untuk mengarahkan orang agar berkonsentrasi
kepada perayaan hari suci Saraswati. Sederhananya, mungkin dapat dikatakan,
jangan melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau berisiko selama proses menuju
pemujaan kepada Dewi Saraswati karena saat itu dianugerahkan ilmu pengetahuan,
sumber penting untuk menjalani kehidupan.
Namun, sejatinya sistem pawukon lebih sebagai siklus penanaman
padi di masa lalu. Wuku Sinta yang memulai sistem pawukon merupakan simbolik tanah. Sinta disejajarkan dengan kata siti yang artinya ‘tanah’. Sementara wuku Watugunung yang merupakan wuku terakhir merupakan simbol biji atau
putra dari Sinta. Sebagai putra Sinta, pada akhirnya Watugunung akan kembali
kepada Sinta, kembali kepada tanah untuk kemudian tumbuh memunculkan kehidupan
baru.
Dalam mitologi disebut Watugunung
menikahi ibunya sendiri, Sinta. Padahal itu maksudnya kembalinya siklus
penanaman. Dulu siklus penanaman di Bali selama enam bulan, sesuai dengan waktu
satu putaran pawukon yang 210 hari.
Setelah masuknya agama Hindu,
tradisi pawukon dimasuki dengan
filsafat-filsafat keagamaan. Dalam tradisi pawukon
ada wuku yang diwarnai dengan
pertemuan saptawara dan pancawara yang disebut tumpek. Tumpek dijadikan momentum untuk mengumpulkan sesuatu. Tumpek Landep
misalnya, momentum untuk mengumpulkan berbagai benda senjata tajam, Tumpek
Wariga sebagai momentum mengumpulkan tanaman dan sebagainya.
Namun, dari sejumlah tumpek yang dimiliki, ternyata
tidak satu pun ada tradisi mengumpulkan pustaka (buku). Karenanya, Saniscara
Umanis Wuku Watugunung kemudian diambil sebagai momentum mengumpulkan berbagai
macam pustaka. Hari itu kemudian dinamai Saraswati. (b.)
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Suksma sanget artikel penjelasannya!! Sangat bermanfaat ~swaha
BalasHapus