Teks dan Foto: I Made Sujaya
Seorang
kawan, Sukma Arida, dalam suatu diskusi bedah buku buku trilogi Gde Aryantha
Soethama pernah mengemukakan pertanyaan menggelitik, “siapa yang bisa disebut
sebagai manusia Bali?”. Pertanyaan yang diajukan dosen Unud itu sebetulnya
bukan pertanyaan baru. Bertahun-tahun yang lalu, pertanyaan serupa juga
mengemuka manakala kalangan intelektual Bali
memperdebatkan masalah Bali dan kebalian.
Hingga kini, perdebatan itu belum mencapai titik akhir.
Antropolog,
Nyoman Naya Sujana dalam tulisannya berjudul “Manusia Bali di Persimpangan
Jalan” yang dimuat dalam buku Dinamika
Masyarakat dan kebudayaan Bali mengemukakan dari segi pendeketan
antropologis manusia Bali adalah manusia etnis Bali. Manusia etnis Bali adalah
sekumpulan orang-orang yang mediami suatu wilayah tertentu (khususnya Pulau
Bali) di antara etnik-etnik yang ada di Nusantara yang memiliki kesadaran (consciousness) yang kuat tentang: (1)
adanya kesatuan budaya Bali, (2) bahasa Bali, dan (3) kesatuan agama Hindu. Di
samping itu, manusia etnis Bali dianggap
memiliki kesadaran yang kuat akan perjalanan sejarahnya serta memiliki
ikatan-ikatan sosial dan solidaritas yang kuat yang berpusat pada pura,
organisasi sosial serta sistem komunal.
“Kesadaran
kolektif tentang kesatuan budaya Bali, bahasa Bali dan agama Hindu telah
membuat manusia etnis Bali memiliki emosi etnosentris kebalian yang relatif
kuat. Bilamana orang-orang Bali bertemu di
luar Bali , bahkan di mana saja di luar negeri,
mereka merasa sebagai satu keluarga besar (beraya atau kerama),” tulis Naya
Sujana.
Jika
mengacu pada pendapat Naya Sujana seperti itu berarti orang-orang non-Hindu
yang lahir dan besar di Bali tidak masuk kategori sebagai manusia Bali. Maka,
orang-orang seperti Haji Bambang di Kuta yang meskipun sangat fasih berbahasa
Bali (bahkan dalam tingkatan alus), lahir dan dibesarkan di Bali tak berhak
menyandang predikat sebagai manusia Bali.
Lantas,
bagaimana dengan putra keluarga Bali yang lahir dan besar di luar Bali. Sang
putra tidak bisa berbahasa Bali , tidak
mengenal kebudayaan Bali dan tidak punya
kesadaran yang kuat terhadap etnosentris Bali .
Pengamat
masalah adat, Wayan P. Windia yang intens mengamati dinamika manusia Bali juga
tak memberikan jawaban tegas soal identitas bernama manusia Bali itu. Guru
Besar Dosen Fakultas Hukum (FH) Unud ini hanya menyatakan istilah krama Bali.
Menurut
dia, ada tiga golongan krama di Bali.
Pertama, krama desa adat yang tercatat sebagai warga desa adat dan beragama
Hindu. Kedua, krama tamiu, yakni orang Bali
beragama Hindu tetapi tidak tercatat sebagai warga adat. Terakhir ada tamiu,
orang non-Hindu yang tinggal dan mencari penghidupan di Bali.
Barangkali
menarik untuk disimak jawaban yang pernah dilontarkan sastrawan Putu Wijaya
mengenai siapa yang bisa disebut orang Bali. Menurut dia, orang Bali adalah mereka yang bisa memahami, memaknai dan
mengimplementasikan spirit kebalian.
Bali
barangkali bukanlah identitas yang tuntas. Bali
adalah spirit yang terus berkembang. Seperti dikatakan Madan Sarup dalam buku Identity, Culture and the Postmodern World yang dikutip Dr. Nyoman Darma
Putra dalam makahnya berjudul “Antara Kesukuan dan kebangsaan: Seabad
Metamorfose Identitas Bali , 1906-2006”,
identitas itu tidak pernah tetap, tidak utuh, tidak satu tetapi fabricated dan constructed, terus digodok dalam proses. Kalau identitas begitu
licin, cair, gampang berubah.
Mengutip kata Goenawan Moehammad, idenitas itu seperti
bawang. Keliahatn utuh tetapi kalau dibuka lapis demi lapis, tidaklah ada yang
disebut inti. “Mungkin ketiadaan inti itulah yang membuat kita sebaiknya
menerima bahwa identitas itu adalah angan-angan semata. Pergantian identitas
secepat atau selambat pergantian angan-angan,” kata Darma Putra. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar