Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bali Tradisi · 12 Agu 2013 03:29 WITA ·

Ketika Linggih Batari Sri Kian Terdesak


					Ketika Linggih Batari Sri Kian Terdesak Perbesar

Renungan di Hari Soma Ribek 

Teks dan Foto: I Made Sujaya 

Boleh saja orang Bali bangga karena memiliki hari pangan jauh sebelum dunia memutuskan memperingatinya saban tahun, yakni Soma Ribek. Bahkan perayaan hari pangan ala Bali begitu unik dan otentik karena menjelma tradisi kaya makna dan diwariskan turun-temurun sejak berabad-abad silam. Tapi, sejauh mana kebanggaan atas tradisi itu menemukan konteksnya dengan kondisi kekinian Bali? 


Bali kini sungguh bergerak paradoks. Di satu sisi ritual pemujaan Sri tiada surut –termasuk perayaan hari Soma Ribek saban 210 hari– pemahaman atas besarnya anugerah Dewi Sri juga semakin kuat, di sisi lain gambaran sebaliknya juga membiak: sawah-sawah di Bali semakin tahun semakin menyusut. Menurut data terakhir, sekitar sekitar 750-1.000 hektar sawah di Bali beralih fungsi. Penyebabnya tiada lain investasi dan kebutuhan lahan yang semakin tinggi di Bali.

Produksi beras Bali juga merosot setiap tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali yang dirilis Bali Post menyebutkan pada tahun 2012, produksi beras Bali turun 1,35% atau sekitar 11.578 ribu gabah kering giling (GKG). Setahun sebelumnya, produksi beras juga turun 1,25% atau sekitar 10.845 ribu GKG. 


Penurunan produksi beras dipicu oleh kian menyusutnya sisa luas tanaman padi di Bali. Pada tahun 2011, sisa luas tanaman sekitar 47.394 hektar, sedangkan tahun 2012 turun menjadi 39.022 hektar. Tak cuma itu, jumlah penduduk Bali yang bekerja di sektor pertanian juga makin sedikit. Tahun 2012 tercatat tinggal 25,24% penduduk Bali yang bekerja di sektor pertanian, padahal sektor ini menjadi penyumbang pendapatan domestik bruto (PDRB) Bali dengan nilai mencapai Rp 3,6 trilyun pada triwulan III tahun 2012.


Kondisi ini sebetulnya bukan tidak disadari oleh pemerintah maupun para stakeholders. Gubernus Bali, I Made Mangku Pastika bahkan berkali-kali mengkritik semakin jarangnya pemuda Bali yang mau menjadi petani. Mangku Pastika kemudian merilis program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Belakangan juga dirilis Perda Subak untuk melindungi lahan subak milik petani, terutama dari beban tinggi pajak bumi bangunan (PBB).

Tapi, yang dibutuhkan bukan semata kebijakan parsial. Seperti dinyatakan pakar pertanian dan subak dari Unud, Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, harus ada langkah strategis dan berkelanjutan sekaligus sungguh-sungguh untuk menyelamatkan sektor pertanian Bali. Pembangunan sektor pertanian di Bali dalam lima tahun mendatang perlu menitikberatkan sistem ketahanan pangan berbasis kemampuan produksi, diversifikasi pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Kebijakan pemerintah juga perlu mendorong pola agribisnis yang berorientasi global, dengan mengembangkan produk unggulan yang mampu memenangkan persaingan. 


Karena sektor ini paling vital tetapi juga paling lemah, maka proteksi dalam bentuk kebijakan mesti dilakukan. Tanpa kebijakan yang berpihak, pertanian Bali tidak akan pernah bangkit, tetapi justru bangkrut. 


Ketika sawah semakin menyusut, itu berarti linggih Batari Sri juga kian terdesak. Jika fenomena alih fungsi lahan persawahan ini tak ditekan, bukan tidak mungkin pemujaan Dewi Sri akan menjadi simbol semata. Faktanya, sejumlah pura subak kini kehilangan penyungsungnya karena lahan sawah sudah habis terjual dan berubah menjadi perumahan.


Dampak nyata yang bisa dirasakan Bali ke depan, ketahanan pangan Bali bakal terancam. Inilah yang sering diingatkan para tetua sebagai kutukan Batari Sri. Itu sebabnya, manusia Bali saban 210 hari diingatkan untuk mensyukuri karunia Batari Sri lewat perayaan hari Soma Ribek. Saat itu tak semata dilantunkan doa, tak pula hanya dihaturkan sesaji, tetapi seharusnya juga dibarengi dengan ikhtiar untuk membangkitkan dunia pertanian Bali. (*)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 45 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Ini Kegiatan Penutup Brata Siwaratri yang Sering Dilupakan

23 Januari 2020 - 12:42 WITA

Nyepi Segara, Ucap Syukur Atas Karunia Dewa Baruna

26 Oktober 2018 - 15:06 WITA

Ngusaba Nini, Krama Desa Pakraman Kusamba “Mapeed” Empat Hari

25 Oktober 2018 - 15:03 WITA

“Pamendeman” Ratu Bagus Tutup Puncak “Karya Mamungkah” Pura Puseh-Bale Agung Kusamba

4 April 2018 - 10:18 WITA

“Purnama Kadasa”, Petani Tista Buleleng “Nyepi Abian”

31 Maret 2018 - 14:39 WITA

Cerminan Rasa Cemas Bernama Ogoh-ogoh

14 Maret 2018 - 19:12 WITA

Trending di Bali Tradisi