Renungan di Hari Soma Ribek
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Boleh saja orang Bali bangga karena memiliki hari pangan jauh sebelum dunia memutuskan memperingatinya saban tahun, yakni Soma Ribek. Bahkan perayaan hari pangan ala Bali begitu unik dan otentik karena menjelma tradisi kaya makna dan diwariskan turun-temurun sejak berabad-abad silam. Tapi, sejauh mana kebanggaan atas tradisi itu menemukan konteksnya dengan kondisi kekinian Bali?
Bali kini sungguh bergerak paradoks. Di satu sisi ritual pemujaan Sri tiada surut –termasuk perayaan hari Soma Ribek saban 210 hari– pemahaman atas besarnya anugerah Dewi Sri juga semakin kuat, di sisi lain gambaran sebaliknya juga membiak: sawah-sawah di Bali semakin tahun semakin menyusut. Menurut data terakhir, sekitar sekitar 750-1.000 hektar sawah di Bali beralih fungsi. Penyebabnya tiada lain investasi dan kebutuhan lahan yang semakin tinggi di Bali.
Produksi beras Bali juga merosot setiap tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali yang dirilis Bali Post menyebutkan pada tahun 2012, produksi beras Bali turun 1,35% atau sekitar 11.578 ribu gabah kering giling (GKG). Setahun sebelumnya, produksi beras juga turun 1,25% atau sekitar 10.845 ribu GKG.
Penurunan produksi beras dipicu oleh kian menyusutnya sisa luas tanaman padi di Bali. Pada tahun 2011, sisa luas tanaman sekitar 47.394 hektar, sedangkan tahun 2012 turun menjadi 39.022 hektar. Tak cuma itu, jumlah penduduk Bali yang bekerja di sektor pertanian juga makin sedikit. Tahun 2012 tercatat tinggal 25,24% penduduk Bali yang bekerja di sektor pertanian, padahal sektor ini menjadi penyumbang pendapatan domestik bruto (PDRB) Bali dengan nilai mencapai Rp 3,6 trilyun pada triwulan III tahun 2012.
Tapi, yang dibutuhkan bukan semata kebijakan parsial. Seperti dinyatakan pakar pertanian dan subak dari Unud, Prof. Dr. Ir. I Wayan Windia, harus ada langkah strategis dan berkelanjutan sekaligus sungguh-sungguh untuk menyelamatkan sektor pertanian Bali. Pembangunan sektor pertanian di Bali dalam lima tahun mendatang perlu menitikberatkan sistem ketahanan pangan berbasis kemampuan produksi, diversifikasi pangan, kelembagaan dan budaya lokal. Kebijakan pemerintah juga perlu mendorong pola agribisnis yang berorientasi global, dengan mengembangkan produk unggulan yang mampu memenangkan persaingan.
Karena sektor ini paling vital tetapi juga paling lemah, maka proteksi dalam bentuk kebijakan mesti dilakukan. Tanpa kebijakan yang berpihak, pertanian Bali tidak akan pernah bangkit, tetapi justru bangkrut.
Ketika sawah semakin menyusut, itu berarti linggih Batari Sri juga kian terdesak. Jika fenomena alih fungsi lahan persawahan ini tak ditekan, bukan tidak mungkin pemujaan Dewi Sri akan menjadi simbol semata. Faktanya, sejumlah pura subak kini kehilangan penyungsungnya karena lahan sawah sudah habis terjual dan berubah menjadi perumahan.