Renungan Hari “Piodalan
Batara Hyang Guru”
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Sehari
setelah hari Tumpek Landep, yakni Redite Redite
(Minggu) Umanis wuku Ukir, umat
Hindu, terutama di Bali, merayakan hari Piodalan
Batara Hyang Guru. Hari ini, Minggu, 25 Agustus 2013, umat Hindu memuja Batara
Guru, para leluhur yang telah memberikan tuntunan kepada keturunannya.
![]() |
Sanggah Kemulan |
Menurut
lontar Sundarigama, pada hari Piodalan Batara Guru, dilaksanakan
pemujaan di sanggah kemulan (bangunan
suci utama di tempat suci di masing-masing rumah yang berbentuk bangunan dengan
rong atau ruang tiga). Sesaji yang
dihaturkan yakni pengambyan 1, sedah ingapon (sirih diberi kapur
sebanyak 25 lembar), kwangen 8 buah. Sarana
sesaji ini sebagai wujud penghormatan kepada Batara Guru, para leluhur yang
telah disucikan.
Orang
Bali memang sangat menghormati leluhur. Mereka berani mengeluarkan uang puluhan
juta untuk mengupacarai leluhur yang sudah meninggal. Upacara itu dianggap
sebagai cermin rasa bakti kepada leluhur. Namun, orang Bali sering lupa bahwa
yang dimaksud leluhur juga adalah orang-orang tua, para pendahulu yang masih
hidup.
Jika
dengan leluhur yang sudah tiada orang Bali begitu hormat dan rela berkorban
harta dan tenaga begitu besar, sebaliknya dengan orang-orang tua yang masih
hidup kerap kali menyeruak keengganan. Bila pun kesediaan menghormati, menjaga
dan merawat orang-orang tua yang masih hidup terjaga, namun masih kurang
sebanding dengan ketulusan dan kegairahan saat mengurus para leluhur yang sudah
tiada.
“Yang
parah, saat orang tua masih hidup tidak terlalu diurus. Sebaliknya begitu orang
tua meninggal baru semangat membuatkan bade berukuran raksasa serta menggelar
upacara penyucian mewah. Sesungguhnya itu keliru,” kata tokoh masyarakat
Kedonganan, I Ketut Madra.
Menurut
Madra, leluhur bukan saja mereka yang sudah meninggal. Orang tua yang masih
hidup juga leluhur sehingga patut dirawat dengan tulus setulus mengurus upacara
leluhur yang sudah tiada.
Hal
senada diungkapkan guru yang juga penekun spiritual asal Kuta, I Nyoman Musna.
Orang tua merupakan leluhur nyata yang membuka pintu pengabdian yang tulus bagi
para pretisentana.
“Justru
ketulusan saat mengurus leluhur semasih hidup jauh lebih tinggi nilainya
daripada setelah leluhur itu tiada,” kata Musna.
Bahkan,
Musna yang sehari-hari sebagai guru Matematika di SMP Sunariloka Kuta
berpandangan yang disebut leluhur sejatinya bukan saja para pendahulu yang sudah
tiada atau pun orang tua yang masih hidup. Yang juga disebut leluhur adalah
para pretisentana, para anak-cucu, generasi masa kini.
Menurut
Musna, para anak-cucu ini merupakan aliran yang tidak terputus dengan para
pendahulu di masa lalu. Di tanganpara anak cucu inilah, jasa dan karya para
pendahulu yang sudah tiada akan hidup atau berakhir sebagai sebuah kenangan
tanpa makna.
“Orang
Bali sebetulnya punya tradisi yang menguatkan pandangan bahwa generasi kini
juga leluhur. Tradisi itu yakni tradisi ngidih
nasi, reinkarnasi. Yang ngidih nasi
atau bereinkarnasi pada diri anak cucu saat ini pasti para leluhur yang sudah
tiada,” kata Musna.
Itu
artinya, generasi kini juga leluhur. Pada diri merekalah para leluhur yang
sudah tiada itu hadir kembali. Jika kehadiran mereka di masa lalu dihargai,maka
kehadiran mereka di masa kini melalui para anak cucu juga patut dihormati.
“Cara
penghormatannya sangat sederhana, jaga mereka dengan baik. Bina dan didik
mereka agak menjadi suputra. Jamin pendidikan dan masa depan mereka. Tumbuhkan
mereka menjadi generasi pembaharu yang tidak hanya memuliakan hidup mereka
tetapi juga memuliakan leluhur-leluhurnya,” tandas Musna.
Karena
generasi kini juga leluhur maka proporsi perhatian kepada mereka juga harus seimbang
dengan leluhur yang sudah tiada. “Prinsipnya mengikuti konsep keseimbangan.
Kalau setengah untuk mengurus leluhur di masa lalu,maka setengah pula untuk
mengurus leluhur di masa kini,” tandas Musna. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar