KARUT-marut bangsa Indonesia
saat ini sejatinya berakar pada pembelajaran di sekolah-sekolah serta perguruan
tinggi yang selama ini menggunakan paradigma behavioristik. Jika ingin
membenahi bangsa ini, mau tidak mau harus dimulai dari kegiatan belajar dan
pembelajaran di kelas. Paradigma behavioristik mesti ditinggalkan menuju
paradigma konstruktivistik. Pandangan ini dikemukakan Direktur Pascasarjana
Universitas Negeri Malang, Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd., saat
menjadi narasumber dalam workshop
pembelajaran kooperatif di IKIP PGRI Bali,
Jumat-Sabtu (19-20/7) kemarin.
![]() |
Prof. Dr. I Nyoman Sudana Degeng, M.Pd. |
Dalam paradigma behavioristik,
menurut Degeng, kegiatan belajar dan pembelajaran berpusat pada pengajar
sehingga muncul keseragaman yang teratur. Manusia yang dihasilkan dengan
pembelajaran paradigma behavioristik cenderung menekankan aspek kompetitif dan
kurang bersahabat dengan perbedaan atau keragaman. Itu sebabnya, kerap kali
muncul konflik sosial karena perbedaan pilihan, keyakinan dan pandangan.
“Pembelajaran dengan paradigma
konstruktivistik menghendaki prakarsa belajar muncul dari si belajar dalam
pemaknaan informasi pengetahuan baru melalui pengalaman konkret, bebas, proses
dan hasil belajarnya ditentukan siswa melalui strategi yang dipakai,” kata Guru
Besar Teknologi Pembelajaran asal Desa Besan, Klungkung ini.
Degeng mengakui paradigma
behavioristik sudah tertanam lama di benak para pendidik dan pelaku pendidikan.
Para pemimpin saat ini pun merupakan produk
pendidikan dengan paradigma behavioristik. Itu sebabnya, seringkali terjadi
kekeliruan dalam memandang dan menanggapi realitas yang tengah terjadi. Degeng
mencontohkan pandangan kebanyakan orang Indonesia tentang globalisasi
sebagai era kesejagatan. Lalu tanggapannya terhadap globalisasi berupa upaya
meningkatkan daya saing bangsa.
“Padahal, era globalisasi itu tak
lain era ketergantungan antarbangsa. Tidak ada bangsa di dunia yang bisa hidup
sendiri, semua tergantung satu sama lain. Itu sebabnya perlu kerja sama
(kooperasi) dan kolaborasi. Bukan sebaliknya berkompetisi,” kata Degeng.
Kecenderungan
perusahaan-perusahaan global pun kini memilih jalan kooperasi dan kolaborasi
untuk mencapai kesuksesan. Jika suatu bangsa memiliki kelebihan tertentu, maka
bangsa itulah yang diajak bekerja sama.
Di dunia pendidikan sendiri,
paradigma behavioristik dikokohkan lagi dengan Ujian Nasional (UN). Padahal, UU
Sistem Pendidikan Nasional sudah 60% mengadopsi paradigma konstruktivistik.
Paradigma konstruktivistik, imbuh
lelaki kelahiran 23 September 1958 ini, memberi ruang bagi tumbuhnya semangat
kooperatif, kolaboratif dan menghargai keragaman. Paradigma konstruktivistik
justru sudah diterapkan secara penuh di lembaga pendidikan anak usia dini
(PAUD). Sebaliknya pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi masih
menggunakan paradigma behavioristik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar