Teks dan Foto: I Made Sujaya
Hari raya Kuningan yang dirayakan
umat Hindu Sabtu (6/4) kemarin ditandai dengan ciri khas sejumlah sarana,
seperti tamiang, endongan, ter atau pun sampian gantung. Sarana itu dipahami
sebagai simbol-simbol yang identik dengan alat-alat perang. Apa makna di balik
simbol alat-alat perang itu?
Sarana paling khas dan paling
simbolik dalam perayaan Kuningan tentu saja tamiang.
Kata tamiang mengingatkan pada tameng, sebentuk alat perisai yang lazim
digunakan dalam perang. Saat Kuningan,
tamiang dipasang di pojok-pojok rumah dan di palingih-palinggih (bangunan suci).
Selain
tamiang, ada juga sarana lain, yakni endongan. Menurut Kamus Bali-Indonesia (Dinas Pendidikan Dasa Provinsi Bali, 1991)
kata endongan diartikan sebagai
‘tempat bekal dari tapis kelapa’.
Tamiang kerap dimaknai sebagai
simbol perlindungan diri. Tamiang,
jika melihat bentuknya yang bulat, juga sering dipahami sebagai lambang Dewata
Nawa Sanga yang menjadi penguasa sembilan arah mata angin. Tamiang juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilingan yang merujuk pada
pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran roda.
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat
atau wadah untuk menempatkan perbekalan. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya
memang menyerupai panah. Sementara sampian
gantung sebagai simbol penolak bala.
Sarana
upacara yang identik dengan alat-alat perang ini memang sarat makna. Namun,
pertanyaan yang kerap mengemuka, mengapa hari raya Kuningan diwarnai dengan
sarana upacara yang identik dengan alat-alat perang?
Bukan
hanya hari Kuningan yang diwarnai dengan sarana yang merujuk pada perlengkapan
perang. Hari Galungan yang dirayakan sepuluh hari sebelumnya juga sarat dengan
simbol-simbol peperangan. Pemakanaan Galungan sebagai hari kemenangan atau hari
kemenangan perang menegaskan hal itu. Pemasangan penjor juga merujuk pada
simbol dipancangkannya panji-panji kemenangan.
Hari
raya memang dimaksudkan untuk senantiasa mengingatkan manusia tentang hakikat
jati dirinya sebagai manusia sekaligus memahami hakikat kehadirannya dalam
hidup dan kehidupan.
Hidup
pada hakiktanya memang sebuah peperangan. Sepanjang hidupnya, manusia tiada
henti berhadapan sebuah peperangan panjang. Sejarah umat manusia pun, jika
diselami, lebih dalam sejatinya adalah sejarah perang.
Bagi
manusia Bali, perang dalam kehidupan berwujud perang fisik di bhuwana agung (alam makrokosmos) maupun
perang batin di bhuwana alit (alamt
mikrokosmos). Justru, perang batin yang berkecamuk dalam hati itulah perang
terbesar, terhebat dan terdahsyat. Inilah perang yang tidak pernah berhenti dan
bahkan lebih sering menghadirkan kekalahan bagi manusia.
Dalam
konteks perang batin, manusia mesti membentengi diri dengan tamiang (tameng) yang tiada lain berupa
pengendalian diri (indria). Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan
kesadaran akan hakikat dan jati diri sang Diri (uning ‘tahu’ atau eling
‘sadar’). Mungkin itu sebabnya yang mendasari lahirnya nama hari raya Kuningan
(kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada lain Dewa Indra, manifestasi
Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan,
manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
Namun,
untuk senantiasa memenangkan “peperangan” dalam hidup, manusia harus memiliki
bekal yang cukup. Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada
lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai
senjata. Senjata utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau
kualitas pikiran. Ketajaman pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan). (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar