Teks: I Made Sujaya, Foto: Cokorda Yudistira
Tak hanya sarana upacara yang digunakan dalam perayaan Kuningan yang diwarnai simbol-simbol perang. Sejumlah tradisi di beberapa desa saat hari Kuningan juga berbau perang. Dua di antara tradisi Kuningan berbau perang yang sudah populer, yakni Makotek di Desa Munggu, Badung dan Dewa Maseraman di Paksebali, Klungkung.
Tak hanya sarana upacara yang digunakan dalam perayaan Kuningan yang diwarnai simbol-simbol perang. Sejumlah tradisi di beberapa desa saat hari Kuningan juga berbau perang. Dua di antara tradisi Kuningan berbau perang yang sudah populer, yakni Makotek di Desa Munggu, Badung dan Dewa Maseraman di Paksebali, Klungkung.
Nama resminya ngerebeg.
Tapi, tradisi saban hari raya Kuningan di Desa Adat Munggu, Mengwi, Badung ini
lebih dikenal sebagai makotek. Dalam
bahasa Bali, makotek berartik ‘menjolok’.
Memang, makotek merupakan aksi saling
jolok dengan menggunakan kayu.
Prosesi tradisi makotek diawali dari Pura Dalem
Kahyangan Wisesa. Di sinilah seluruh warga berkumpul membawa sebuah kayu pulet
seukuran panjang tombak. Selain itu, tombak-tombak pusaka yang di-sungsung (disucikan) di pura
masing-masing diikutsertakan dalam tradisi ini. Tombak-tombak ini akan diarak
keliling desa bersama pusaka tamiang
kolem yang terbuat dari perunggu yang di-sungsung di Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Selain diwarnai aksi
saling jolok, makotek juga disertai
dengan kegiatan nunas tirtha ke sepuluh pura yang ada di wawengkon (wilayah) desa seperti Pura Luhur Akasa, Pura Ulun Carik,
Pura Luhur Sapu Jagat, Pura Hyang Geni dan lainnya.
Tradisi makotek, konon, lahir ketika Mengwi berkembang menjadi sebuah
kerajaan besar di Bali. Diceritakan, suatu ketika Mengwi hendak menyerang
Blambangan. Sebelum berangkat, sang raja pun bersemedi di Pura Dalem Kahyangan
Wisesa, Desa Munggu untuk mohon berkah kemenangan. Dipilihnya pura ini oleh
raja karena prajurit pilihannya banyak yang berasal dari Munggu. Di pura sang
raja sempat ngaturang sesangi (janji
diri) kepada Ida Batara bila berhasil mengalahkan Blambangan akan menggelar
upacara peringatan secara khusus.
Ternyata Blambangan berhasil
dikalahkan. Sang raja pun bahagia, prajuritnya juga senang. Saking girangnya,
para prajurit itu saling menjolokkan tombak yang dibawa, hingga ada yang
terluka. Melihat hal ini, sang raja teringat sesangi-nya di Pura Dalem Kahyangan Wisesa. Akhirnya, sang raja pun
menggelar peringatan di pura tersebut dengan nama upacaranya, ngerebeg. Ngerebeg artinya menyerang secara menadadak, sebagaimana aksi ke
Blambangan. Waktu yang dipilih untuk melaksanakan tradisi ini yakni pada saat
Tumpek Kuningan karena pada hari itulah Raja Mengwi bersemedi mohon berkah
kemenangan.
Seluruh pusaka ini merupakan
warisan leluhur yang digunakan saat ngerebeg
ke Blambangan dulu diarak saat ngebereg,
termasuk tamiang kolem yang terbuat
dari perunggu. Tamiang kolem dengan
diameter 45 sentimeter itu merupakan bukti kemenangan Mengwi atas Blambangan.
Di Pura Panti, Banjar Timbrah,
Paksebali, Klungkung juga mengenal tradisi berbau perang saat Kuningan.
Namanya, Dewa Maseraman. Di
kalangan warga Paksebali dan Klungkung umumnya, upacara yang dilaksanakan tiap
hari raya Kuningan ini dikenal dengan sebutan dewa mapalu atau
pertempuran dewa-dewa.
Maseraman itu artinya pertemuan dengan
bersenang-senang atau mungkin bisa disejajarkan dengan bermesraan. Tradisi ini
ditandai dengan tumbukan joli-joli
yang diusung krama. Prosesi tumbukan antarjoli ini disebut ngambeng sebagai simbolik berkumpulnya Ida Batara karena lama tidak
bertemu. Yang terlibat dalam reuni ini, di antaranya Ida Batara Lingsir atau
Ida Batara Putran Jaya yang malinggih
di Pura Besakih, Ida Batara Gni Jaya yang malinggih
di Pura Lempuyang, Ida Bhatra ring Gumang, Ida Batara Dewi Danu, Ida Batara
Kelod-Kangin, Ida Batara Manik Botoh dan Ida Batara Manik Bingin.
Upacara ini bermakna bagaimana manusia mesti menjalani kehidupan.
Makanya, sebelum maseraman ada masolah yang dilakukan oleh dua orang
pengusung joli. Masolah itu artinya
‘bersikap’. Dua orang pengusung itu bermakna rwa bhineda, dua hal yang saling melengkapi. Selesai masolah barulah maseraman, joli diusung
secara bersama-sama.
Selain bagian joli saling bertumbuk, prosesi yang menarik
perhatian orang yakni saat hendak memasukkan kembali joli-joli itu ke jeroan
pura. Yang menarik dari upacara ini, meskipun joli-joli itu ditumbukkan
dengan pengusung yang tidak sedikit, tidak pernah sampai ada yang cedera.
Begitu juga ketika ritual mengembalikan joli ke jeroan pura di pemedal
pura yang sangat sempit, para pengusung tetap segar bugar walau pun sempat
berdesak-desakkan, terinjak bahkan tak jarang berjatuhan. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar