Raja Klungkung diiringi prajuritnya mengikuti pertemuan dengan Belanda di Gianyar |
Teks: I Made Sujaya
Foto: Repro www.kitlv.nl
Puputan Klungkung adalah babak akhir dari perlawanan Bali dalam
kerangka ideologi tradisional (negara kerajaan) menghadapi Belanda. Dalam
babak-babak sebelumnya, perlawanan Bali sudah
tersaji dalam aneka pilihan warna. Ada
yang memilih jalan kompromi atau bekerja sama, ada yang memilih jalan
mengangkat senjata meskipun harus berakhir dengan kematian atau pun perpaduan
antara kedua pilihan jalan tersebut. Klungkung menggunakan berbagai pilihan
jalan itu saat berhadapan dengan kolonialisme Belanda. Diawali dengan jalan
kerja sama, lalu mengangkat senjata (Perang Kusamba), disusul kompromi dan
diplomasi (jalinan kontrak politik dengan Belanda) serta diakhiri dengan jalan
mengangkat senjata yang berujung pada puputan.
Menarik untuk disimak nukilan
sejarah pulau alit ini di awal abad ke-19. Bermula dari terjadinya perpindahan
kekuasaan dari Belanda kepada Inggris di Pulau Jawa. Raja Buleleng, Gusti Gde
Ngurah Karangasem menguasai Jembrana untuk tujuan menduduki Banyuwangi di Pulau
Jawa. Tindakan ini membuat geram pemerintah Inggris di Batavia sehingga
dikirimlah satu eskader angkatan laut Inggris ke Buleleng pada tahun 1814.
Tujuannya, untuk memberi pelajaran kepada Raja Buleleng. Usaha pemerintah
Inggris ini mendapat perlawanan hebat. Tidak saja dari Raja Buleleng, tetapi
juga dari semua raja di Bali. Raja-raja
lainnya di Bali mengirimkan bantuan pasukannya ke Buleleng untuk membantu
kerajaan di bagian utara Bali itu. Raja-raja Bali itu bertekad untuk berjuang bersama menentang agresi
militer dari luar. Sikap ini merupakan pertama kalinya terjadi pada raja-raja Bali pada masa itu.
Sikap bersatu raja-raja Bali terbukti ampuh. Pemimpin pasukan Inggris, Jenderal
Nightingale diperintahkan Batavia
untuk memundurkan pasukannya. Pemerintah Inggris tidak bersedia berperang
dengan raja-raja Bali yang mempunyai tekad
bersatu melawan musuh. Namun, tiga puluh tahun kemudian, semangat bersatu Bali itu mengalami kemerosotan. Manakala Belanda hendak
menyerang Kerajaan Buleleng dan Karangasem gara-gara masalah perampasan kapal
milik Belanda, raja-raja Bali enggan untuk
membantu kedua kerajaan itu. Bahkan, dorongan Raja Klungkung sebagai sasuhunan
raja-raja Bali dan Lombok agar raja-raja
lainnya membantu Buleleng dan Karangasem tiada mendapat respons yang memadai.
Ketidakkompakan raja-raja Bali
itu kemudian terbukti semakin memudahkan Belanda mencengkeramkan kekuasannya di
Bali. Kita tahu Buleleng kemudian jatuh ke
tangan Belanda yang menjadi pintu pembuka bagi Belanda untuk menguasai Bali secara keseluruhan. Setelah menguasai Buleleng,
Belanda dengan mudah menaklukkan Karangasem, disusul Gianyar yang menyerahkan
kedaulatannya, lalu Badung yang dihabisi dalam perang puputan dan terakhir
kekalahan Klungkung dalam apa yang kemudian disebut Puputan Klungkung
melengkapi kekuasaan Belanda.
Artinya, Puputan Klungkung adalah
buah dari kondisi sosial politik Bali sejak
abad ke-19 hingga awal abad ke-20 yang karut-marut dan diwarnai ego
masing-masing kerajaan. Kohesivitas dan solidaritas antarkerajaan sangat jauh
merosot. Bahkan, yang lebih parah lagi, sejumlah kerajaan terlibat pertikaian
yang didasari oleh keinginan yang satu menguasai yang lain. Bukan hanya itu,
kerajaan-kerajaan itu tidak segan-segan membantu atau pun meminta bantuan
Belanda untuk menaklukkan kerajaan lainnya. Jika saja raja-raja Bali menyadari
tentang betapa pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, saling bantu satu
sama lain, memandang ancaman terhadap satu kerajaan sebagai ancaman bagi semua,
tentu Puputan Klungkung tidak akan terjadi, begitu juga Puputan Badung atau pun
Gianyar yang memilih jalan tidak populer menyerahkan kedaulatan atas
kerajaannya di bawah pengawasan Belanda.
Sampai di sini, makna Puputan
Klungkung yang bisa diangkat adalah betapa pentingnya Bali saling bergandengan
tangan dan menghindarkan konflik atau pertikaian antarsesama Bali.
Dalam konteks kekinian, makna itu bisa diterjemahkan kebijakan antara satu
kabupaten dengan kabupaten lainnya semestinya tidak mengesampingkan kenyataan
betapa Bali sesungguhnya dalam satu kesatuan
etnik, satu kesatuan budaya, satu kesatuan pulau yang semestinya saling
menjaga, saling memperkokoh. Ego kabupaten/kota tidak saja menjadi tidak
produktif tetapi juga memberi celah bagi penetrasi kepentingan luar yang
bertujuan merusak atau setidaknya menguasai Bali.
Perang fisik memang telah berakhir, tetapi perang
dalam kerangka ideologi atau pun kepentingan tetap terjadi sepanjang masa,
termasuk di Bali. Peristiwa Puputan Klungkung
yang terjadi lebih seabad lalu yang sesungguhnya pula menandai berakhirnya
kedaulatan kerajaan-kerajaan di Bali dan dimulainya masa sebagai jajahan
Belanda mesti bisa membangkitkan kesadaran tentang pentingnya menjaga Bali sebagai sebuah kesatuan yang utuh. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar