*****
KEGEMBIRAAN
menyelimuti perasaan Wayan Sumerta (30). Putra pertamanya lahir dengan selamat
juga lengkap. Kedua orang tua Sumerta tak kurang bahagia karena impian
menggendong cucu pertama terwujud sudah.
Di hari kedua belas kelahiran anaknya, Sumerta didampingi
kedua orang tuanya mendatangi seorang balian atau jero dasaran (orang pintar) di desanya.
Tujuannya cuma satu, mapeluasan menanyakan siapa yang turun manumadi. “Kalau di
desa saya dikenal istilah ngidih nasi,” kata Sumerta yang berasal dari
Klungkung.
Melalui ritual khusus, sang balian atau jero dasaran
memberitahukan yang turun manumadi leluhur dari garis purusa (garis keturunan laki-laki) yakni “pernah” buyut
Wayan Sumerta. Karena sang buyut masih memiliki utang sesangi, Sumerta diminta
untuk melunasinya. Hutang itu tak begitu merepotkan, hanya mempersembahkan
tedung (payung tradisional Bali) berwarna putih-kuning di sanggah kemulan (tempat pemujaan keluarga). Karena itu, Sumerta memenuhi permintaan
melunasi utang itu saat upacara akambuhan (42 hari) anaknya.
Ngidih nasi atau tuun manumadi memang menjadi keyakinan yang
sudah mengakar kuat di benak orang Bali. Mengetahui siapa yang ngidih nasi
penting bagi orang Bali untuk memahami karakter sang bayi. Biasanya, karakter
sang bayi tidak jauh berbeda dengan karakter leluhur yang ngidih nasi itu.
Penekun agama Hindu, I Gusti Ketut Widana mengatakan dalam
pemahaman Sradha Punarbhawa, yang turun menjelma bukanlah dalam pengertian
genital. Yang diturunkan sebetulnya sifat-sifat roh sang dumadi. Diharapkan,
melalui penjelmaan kembali itu, bisa memperbaiki dan atau menyempurnakan karma
sang dumadi dari asubha karma (perbuatan buruk) menjadi subhakarma (perbuatan baik).
“Jadi, dalam proses penjelmaan, bukan jenis kelaminnya yang
penting, tetapi sifat-sifat sang dumadi itu yang melalui penumadiannya kini
akan terus berikhtiar menyempurnakan kamranya,” jelas Widana dalam buku Mengenal
Budaya Hindu di Bali.
Memang umumnya, jika yang dinyatakan tuun manumadi adalah
“pernah” kakek, sang bayi berjenis kelamin laki-laki. Tapi, bisa jadi juga yang
dinyatakan tuun manumadi “pernah” nenek, tetapi sang bayi berkelamin laki-laki.
Bukan itu saja, yang tuun manumadi bukan hanya satu orang.
Bisa jadi juga yang tuun manumadi lebih dari seorang. Artinya, sang bayi akan
mewarisi karakter ketiga sang manumadi.
Made Sambara (32) misalnya, memiliki seorang putra yang
ternyata setelah di-peluasang, sang manumadi tiga orang leluhurnya yakni dua
orang “pernah” kelab dan seorang “pernah” kumpi.
“Kalau yang ini rebutan turun ngidih nasi,” kata Sambara
sembari tersenyum.
Kini, putra Sambara sudah hampir berumur tiga bulan.
Karakter sang numadi memang belum tampak. Tapi, menurut penuturan sang nenek,
gaya berjalan sang anak menyerupai gaya berjalan “pernah” kelab yang menumadi.
“Kata nenek saya begitu. Cara anak saya berjalan persis seperti cara berjalan
kelab saya yang tuun manumadi itu,” tutur Sambara.
Widana menambahkan, dengan mengetahui bagaimana sifat-sifat
sang Pitara yang numadi, diharapkan sang bayi kelak tumbuh menjadi besar dapat
menyadari tentang siapa dan bagaimana sebenarnya jati dirinya. Kesadaran akan
jati dirinya itulah yang diharapkan dapat mendorong dirinya untuk menjadi anak
yang suputra.
“Karena hakikat putra adalah penyelamat leluhur dari
penderitaan,” kata Widana.
Teks dan Foto: I Made Sujaya
maaf pak/ ibu saya mau tanya, kalu misalkan wanita yang sudah hamil di nikahi oleh orang lain (bukan yang menghamili ) leluhur siapa yang bakaln turun ngidih nasi ??? apakah leluhur dari orang yang menikahi atau yang menghamili ????
BalasHapus