"Ne anggon bekel, apang nyidang meli gumi (ini pakai
bekal, agar bisa membeli tanah)," kata Made nadi sembari mencium kening
cicitnya yang digendong cucu-menantunya itu.
Apa yang dilakukan Made Nadi itu kerap disebut ngampin.
Ini sebentuk tradisi Bali bagi orang-orang yang sudah berjuluk kumpi terhadap
cicitnya yang baru lahir. Di beberapa desa, tradisi ini disebut meras.
"Ngampin itu tujuannya agar si cicit yang baru lahir
tidak kumpinan. Kumpinan itu maksudnya kesakitan dalam mengarungi hidup dan
kehidupan," kata Made Nadi menjelaskan maksud ngampin dalam bahasa Bali.
Sulit untuk melacak sumber sastra dari tradisi ngampin
ini. Yang terjadi justru banyak orang tak mengenal lagi
tradisi ini. Sebagian lagi menanggapi tradisi ini tak begitu serius.
Namun, bagi Putu Sudarta, tokoh masyarakat Busungbiu,
Buleleng, tradisi ngampin merupakan ungkapan syukur orang tua, khususnya tetua
di keluarga atas kelahiran generasi baru, seorang cicit. Ungkapan syukur itu
disertai dengan doa dan pengharapan ke hadapan Yang Kuasa agar sang bayi
diberkati keselamatan, kesehatan, kesejahteraan dan kesuksesan dalam mengarungi
hidup dan kehidupan.
Bila memang bermakna ungkapan syukur, mengapa perlakuan
istimewa ini diberikan pada cicit, bukan pada cucu? "Ya, karena cicit itu
dianggap sama kedudukannya secara niskala dengan orang tua," kata Putu
Sudarta.
Tradisi ngampin bukan hanya berlaku untuk kelahiran
cicit. Kelahiran buyut dan generasi di bawahnya juga mendapat perlakuan sama.
Sepanjang generasi tertua dalam keluarga masih ada saat kelahiran sang buyut,
tradisi ini tetap dilaksanakan.
"Tidak semua orang bisa menyaksikan kelahiran cicit
apalagi buyutnya. Jadi, kalau sampai melihat kelahiran sang cicit atau buyut,
wajar ada ungkapan syukur yang cukup," imbuh Komang Suastika, warga
Kusamba, Klungkung.
Artinya, tradisi ngampin menjadi semacam
"jembatan" dalam alih generasi dalam masyarakat Bali. Generasi tua
dengan penuh syukur menyambut sang penerus sembari berdoa kepada Yang Kuasa
agar diberkati keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan.
Model semacam ini juga dijumpai dalam tradisi ngaben.
Jika orang yang di-aben memiliki cicit, maka akan ada bagian ritual peperasan
terhadap cicit-cicit itu. Ritual peperasan
ini ditandai dengan sebentuk banten khusus lengkap dengan kober (bendera)
peperasan bergambar dewa.
"Cicit-cicit itu dianggap bisa melapangkan jalan
sang pitra atau pitara menuju alam sorga. Cicit-cicitnya inilah yang membukakan
jalan itu," ujar Komang Suastika. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar