![]() |
Wisatawan di Wenara Wana, Ubud |
Jika
Sangeh memiliki objek wisata Alas Pala, Ubud juga memiliki Wenara Wana. Seperti
namanya, hutan seluas 8 hektare ini juga dihuni ratusan kera berekor panjang (wenara berarti ‘kera’ sedangkan wana berarti ‘hutan’). Karenanya, di
kalangan wisatawan hutan ini lazim dikenal dengan nama Monkey Forest
(hutan kera).
Hanya
bedanya, jika di Alas Pala pohon yang tumbuh homogen yakni pohon pala, di
Wenara Wana, pohon yang tumbuh cenderung heterogen, beragam jenis. Wenara Wana
terletak di wilayah Desa Adat Padangtegal, tetapi masih dalam wilayah Kelurahan
Ubud. Hutan ini berada di sisi barat daya pusat Kota Ubud.
Sama
halnya dengan Alas Pala di Sangeh, Wenara Wana juga terjaga keasriannya oleh
mitos yang diwarisi warga Padangtegal secara turun-temurun. Di hutan ini,
pohon-pohon yang ada juga tiada bisa ditebang sembarangan. Malah, pantangannya
jauh lebih berat lagi.
Tak cuma itu, berkata-kata kasar di kawasan hutan sangat dilarang. Orang yang masuk ke areal Wenara Wana mesti benar-benar menjaga sikap. Kesucian dan kebeningan hati menjadi persyaratan utama jika hendak masuk ke hutan ini dan selamat.
Artika
tiada persis tahu apa penyebab lahirnya pantangan ini. Di awig-awig desa
pun, hal ini tak tercantum. Namun, warga Padangtegal begitu menaatinya, tiada
berani melanggar.
Tak
cuma warga Padangtegal, warga dari luar desa pun begitu anut dengan segala
pantangan itu. Padahal, warga Padangtegal sendiri tidak pernah menyiarkan
pantangan-pantangan itu.
Umumnya
orang tahu ada pantangan semacam itu dari mulut ke mulut. Awalnya, ada orang
yang memetik dedaunan di sini, terus mengalami kejadian-kejadian aneh. Orang
inilah yang kemudian bercerita kepada orang lainnya.
Menurut
penuturan tetua-tetua Padangtegal, dulu pernah
ada seorang pedagang garam berjualan di dalam kawasan hutan. Sang pedagang
memetik dedaunan di kawasan hutan untuk membungkus garamnya. Tanpa diduganya,
banyak orang yang membeli garam yang dibawanya. Sampai-sampai pedagang itu tak
sadar hari telah beranjak malam. Baru ketika ada warga Padangtegal yang
melihatnya, sang pedagang sadar dirinya telah berjualan seharian.
Dia melihat banyak orang yang membeli garamnya. Padahal,
sama sekali tidak ada orang. Semua ini terjadi karena dia telah salah dedaunan
di Wenara Wana untuk berjualan.
Bukan
cuma memetik dedaunan, menebang pohon di dalam kawasan hutan pun amat pantang
dilakukan warga Padangtegal. Bila pun hendak menebang pohon, wajib matur
pakeling (meminta izin) terlebih dahulu di Pura Dalem Agung Padangtegal
yang berada di bagian barat daya pura. Dan kayu dari pohon yang ditebang hanya
boleh untuk keperluan membangun tenpat-tempat suci, bukan untuk rumah atau pun
bangunan-bangunan profan lainnya.
Selain
tumbuh-tumbuhan, hewan yang ada di dalam kawasan Wenara Wana pun cukup
dikeramatkan warga Padangtegal. Tiap hari Tumpek Kandang misalnya, warga
melaksanakan ritual ngotonin bojog.
Hingga
kini, di Wenara Wana terdapat 375 kera berekor panjang (macca fscicularis).
Kera-kera di Wenara Wana dikenal cukup jinak. Perilakunya pun cukup aneh. Bila
di Pura Dalem Agung warga sedang ngayah, kera-kera seringkali usil.
Keperluan upacara seperti buah, telur, kelapa dan lainnya sering diambil.
Namun, yang aneh, bila Ida Bhatara tedun, mengintip pun kera-kera itu
tidak berani.
Sulit dipercaya, memang, mitos yang membelit Wenara Wana
ini. Namun, karena mitos inilah Wenara Wana bisa terjaga kelestariannya
sepanjang zaman sehingga menjadi warisan berharga generasi sekarang. Inilah
kearifan tinggi para generasi pendahulu mengajarkan generasi kini untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Kesadaran ini, ternyata, telah muncul jauh sebelum
dunia memutuskan peringatan Hari Lingkungan Hidup se-dunia yang jatuh 5 Juni. (*)
Hutan di Bali memang harus dijaga karena luasnya sudahsemakin menyusut
BalasHapus