Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bale Bengong · 18 Jul 2008 03:57 WITA ·

Puri Ubud, Kemewahan Itu…


					Puri Ubud, Kemewahan Itu… Perbesar

Selasa, 15 Juli 2008 lalu, Puri Ubud kembali melaksanakan pelebon (kremasi) besar-besaran menyusul meninggalnya panglingsir (tetua yang juga kerap sebagai ‘raja’) puri tersebut, Cokorda Agung Suyasa serta dua orang kerabatnya. Pelebon yang juga diikuti warga Ubud –istilah umum di kalangan masyarakat Bali, ngiring—ini konon menjadi hajatan pelebon terbesar, setidaknya selama 25 tahun terakhir.

Prosesinya disiapkan berlangsung secara megah, mewah dan mengesankan. Pihak puri membuat bade (menara) setinggi 28,5 meter dan seberat 11 ton. Dihadiri para tokoh-tokoh puri se-Bali hingga Jawa, para politisi papan atas dari Jakarta dan diliput ratusan media dalam dan luar negeri.

Prosesi ritual yang megah dan mewah sesungguhnya bukan sesuatu hal yang aneh di Puri Ubud. Bahkan, telah pula menjadi suatu ciri tersendiri. Memang, antara puri dan warga di desa-desa yang menjadi inti atau pun pinggiran Ubud telah terbangun hubungan yang ‘’saling menguntungkan’’. Ketika puri melaksanakan suatu ritual tertentu, warga di desa-desa itu dengan rela ngayah, sebaliknya ketika desa-desa itu melaksanakan suatu ritual atau membangun pura, pihak puri pun datang dan sering tanpa ragu-ragu memberikan bantuan dana. Inilah yang menyebabkan eksistensi Puri Ubud terasa jauh masih lebih terpelihara dibandingkan puri-puri lainnya di Bali dalam masa modern dengan ciri budaya egaliternya.

Ida Anak Agung Gde Agung dari Puri Agung Gianyar dalam buku memoarnya yang berjudul, Kenangan Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman Pendudukan Jepang di Bali (1993) mencatat kemewahan dan kemegahan sudah sejak lama menjadi ciri Puri Ubud. Putra raja Gianyar yang juga cucu Cokorda Gde Sukawati, punggawa Ubud ini mengungkapkan ibunya yang kerap menceritakan segala kehidupan di Puri Ubud yang penuh kemewahan. Pesta pernikahan antara ibu dan ayahnya yang juga raja Gianyar, Ida Anak Agung Ngurah Agung yang dilaksanakan ketika Cokorda Gde Sukawati masih hidup digambarkan berlangsung sangat meriah sehingga sering menjadi bahan perbincangan orang. Cokorda Gde Sukawati yang pada masa itu menjadi panglima perang tangguh kerajaan Gianyar dalam pemerintahan Dewa Manggis VII memang dikenal sebagai salah seorang yang terkaya di Bali. Kedudukan dan peranannya pun sangat menonjol dalam perkembangan politik di Bali Selatan pada paruh kedua abad XIX tatkala berhasil memenangi perang dengan pasukan Tabanan, Bangli, Negara bahkan Klungkung.

Sejatinya, ritual adat dan agama yang megah-mewah dan kolosal dengan mengerahkan ribuan orang serta biaya yang tidak sedikit memang menjadi salah satu penanda eksistensi puri-puri di Bali termasuk Puri Ubud. Ini sudah berlangsung sejak dulu. Antropolog Clifford Geertz dalam buku spektakulernya berjudul Negara Teater : Kerajaan-kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas menyebut Bali pada abad XIX itu sebagai sebuah negara teater. Ritual nan megah dan mewah menjadi salah satu daya gerak perpolitikan puri. Raja-raja dan para pangeran disebut Geertz sebagai impresario-impresario, para pendeta sebagai sutradara serta para petani sebagai aktor pendukung, penata panggung termasuk penonton. Semua itu, berlangsung dalam suasana yang megah dan mewah. Bahkan, Geertz menyatakan, ritual-ritual itulah menjadi tujuan dari sebuah negara bukan alat semata-mata.

Kini, kendati pun puri sudah kehilangan dominasi dalam kekuasaan formal, ritual-ritual megah dan mewah masih terjadi di puri. Justru, melalui inilah puri menunjukkan eksistensinya. Di sisi lain, yang turut membuat segala ritual besar itu tetap terpelihara karena masyarakat di lingkungan puri sendiri masih “setia” menjaga hubungan dengan puri yang ditunjukkan dengan kerelaan mendukung dan menyukseskan pelaksanaan ritual tersebut. Hal inilah menunjulkan betapa masih berpengaruhnya puri dalam dinamika kultural, termasuk juga politik di Bali. Karenanya, menjadi mudah dipahami mengapa para elite-elite politik pusat kerap menggaet puri sebagai sarana merengkuh dukungan luas dari masyarakat Bali. Puri di Bali memang masih menjadi patron, masih menjadi kiblat.

  • Penulis: I Made Sujaya
  • Foto: AA Yuliantara
  • Penyunting: Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 208 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

21 Desember 2023 - 05:06 WITA

Bertapa Kata-kata di Era Media Sosial [Renungan Hari Saraswati]

20 Mei 2023 - 06:10 WITA

Literasi di Tengah Tantangan Ekonomi Orang Tua Siswa: Catatan Safari Literasi Akar Rumput di Jembrana

14 Mei 2023 - 11:40 WITA

Menguak Hegemoni Teks Ilmiah di Kampus: Catatan Safari Literasi di UPMI Bali

25 Maret 2023 - 09:17 WITA

Menggiring Bebek: Catatan dari Sebuah Lomba Menulis Esai

12 Desember 2022 - 18:39 WITA

Sekeping Kisah Guru dari Kaki Gunung Batukaru

25 November 2022 - 16:30 WITA

Trending di Bale Bengong