Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Rerahinan · 20 Jan 2008 11:20 WITA ·

Ucap Syukur lewat “Penjor”


					Ucap Syukur lewat “Penjor” Perbesar

Galungan selalu identik dengan penjor. Ketika Galungan tiba, laki-laki Bali akan suntuk menghias penjor lalu menancapkannya di depan pintu rumah masing-masing saat Penampahan Galungan. Apalagi di daerah Bali Selatan, seperti Gianyar, Denpasar dan Badung, orang berlomba-lomba membuat penjor semeriah mungkin dengan aneka sentuhan seni.

Penjor, menurut penulis buku-buku agama Hindu, I Gusti Ketut Widana dalam buku Lima Cara Beryadnya, secara filosofis sebagai lambang perthiwi (bumi) dengan segala hasilnya yang disebut Sanghyang Anantabhoga. Juga berarti persembahan ke hadapan Batara Mahadewa yang berstana di Gunung Agung.

“Arti lainnya yang lebih bersifat universal adalah sebagai tanda terima kasih atas segala waranugraha (anugerah atau karunia)-Nya yang telah dilimpahkan kepada umat manusia,” kata Widana. Karena itulah, imbuh Widana, dari segi ritual apa yang ditampilkan dalam sebuah penjor adalah berupa hasil-hasil bumi yang terkelompok ke dalam sebutan palabungkah-palagantung ditambah banten penjor.

Penekun sastra Hindu, Drs. IB Putu Sudarsana, MBA., M.M., dalam buku Ajaran Agama Hindu (Acara Agama) menyebut penjor berasal dari kata peenyor yang diartikan sebagai pengajum atau pengastawa. Penjor sendiri dimaknai Sudarsana sebagai simbol pemujaan ke hadapan Sang Hyang Siwa Meneng beserta dengan Ista Dewata-nya yang distanakan di Pura Besakih.

Aneka sarana dalam penjor pun, menurut Sudarsana, memiliki makna tersendiri. Kain putih merupakan simbol kekuatan Hyang Iswara. Bambu sebagai simbol kekuatan Hyang Mahesora. Jajan sebagai simbol dari kekuatan Brahma.

Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra. Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa. Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara. Palabungkah, palagantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu. Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu. Sanggah Ardha Candra sebagai simbol kekuatan Hyang Siwa. Sementara upakara-nya sebagai simbol kekuatan Hyang Sada Siwa dan Parama Siwa.

Menurut buku Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu (I-XIV) penjor merupakan simbol gunung yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan seperti Gunung Agung. Tujuan pemasangan penjor sebagai wujud rasa bhakti dan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi.

Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan daun kelapa/enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor meliputi palabungkah (umbi-umbian) seperti ketela rambat, palagantung seperti kelapa, mentimun, pisang dan sebagainya, palawija (biji-bijian) yaitu jagung, padi dan sebagainya, jajan, 11 uang kepeng/logam serta sanggah lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampian penjor lengkap dengan porosan (sirih, kapur, pinang) dan bunga. Penjor ditancapkan pada lebuh di depan sebelah pintu masuk pekarangan rumah, sedangkan sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan.

Penjor Galungan mulai dipancangkan pada Anggara Wage Dungulan (sehari sebelum Galungan) setelah menghaturkan banten Penampahan Galungan. Namun di beberapa tempat terkadang penjor sudah mulai dipasang pada saat Penyajaan Galungan.

Penjor dapat dicabut pada Redite Umanis Langkir (sehari setelah Kuningan). Sementara itu, perlengkapan seperti sampian, lamak serta perlengkapan upakara Galungan lainnya dapat dibakar dan abunya sebagian disimpan pada kelapa gading muda yang di-kasturi.

Tapi, umumnya orang Bali mencabut penjor Galungan pada hari Buda Kliwon Pahang (35 hari setelah hari raya Galungan).Pada saat itu, abu dalam kelapa gading dilengkapi dengan sarana kwangen dan 11 uang kepeng/logam selanjutnya ditanam di pekarangan rumah atau dihanyutkan disertai permohonan pakukuh jiwa urip (kedirgayusan). (b)

  • Penulis: I Ketut Jagra
Artikel ini telah dibaca 145 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

“Banyupinaruh”: “Malukat” Dahulu, “Nyurud Nasi Pradnyan” Kemudian

21 Mei 2023 - 08:18 WITA

Pamacekan Agung, Titik Temu Galungan-Kuningan

9 Januari 2023 - 11:54 WITA

Hari Ini Nyepi Segara di Kusamba, Begini Sejarah, Makna, dan Fungsinya

9 November 2022 - 08:17 WITA

“Nyaagang” di Klungkung, “Masuryak” di Tabanan: Tradisi Unik Hari Kuningan

18 Juni 2022 - 14:29 WITA

Magalung di Kampung: Sembahyang Subuh, Munjung ke Kuburan, Malali ke Pesisi

8 Juni 2022 - 16:31 WITA

Tiga Jenis Otonan dalam Tradisi Bali

26 Mei 2022 - 00:57 WITA

Trending di Sima Bali